Diawali dengan quote seperti di gambar,
rasa-rasanya arah postingan kali ini sudah tertebak ya? Memuhasabah diri kembali untuk meningkatkan kesabaran kita. Kedengarannya
klise mungkin ya?
Tapi kenyataannya,
melakukannya dalam keseharian kita jelas tidak semudah menuliskannya dengan
kata-kata. Kenyataannya, melakukannya tentu berlipat-lipat kali memerlukan ikhtiar
dan latihan yang porsinya tidak biasa. Tapi kabar baiknya, kita bisa mulai
melakukannya dengan bertahap, dimulai dari yang paling mudah, kemudian levelling.
Levelling-nya sendiri biasanya kita alami secara tidak sadar. Sebab
ujian sabar itu sering mendadak.
Contoh mudahnya saja, ketika kita meminta orang lain untuk mengerjakan sesuatu. Tapi
kemudian, kinerjanya tidak sesuai yang kita harapkan. Kecewa ya rasanya? Atau
mungkin, tidak hanya kecewa saja. Menyesal mempercayai orang yang salah,
marah-marah, itu mungkin sekali kita rasa ataupun lakukan. Betapa tidak, kita
sudah capek-capek ”menginvestasikan” kepercayaan kita agar sesuatu tersebut
tercapai dengan baik. Tapi nyatanya jauh dari standar kata baik yang kita
pikirkan.
Nah, maka sejatinya, disinilah letak kesempatan untuk levelling
sabar itu ada. Saat kita tahu bahwa hasilnya tidak sesuai yang kita kira,
detik ini pula pilihan untuk kita mau levelling atau tidak itu ada.
Kalau kita mau, maka kita akan bersabar, mengelola ego, mengambil makna hidup,
dan mendewasakan diri. Tetapi jika belum mau, yasudah, kita akan marah-marah
saja, akan kecewa saja, mau orang yang bersangkutan sudah minta maaf sekalipun
kita akan tetap marah-marah. Tidak ada yang meningkat dari kita yang
sebelumnya. Justru yang ada hanya memperburuk suasana hati kita, kita makin
terusik dan sulit bahagia. Karena yang disoroti hanya bagian negatif-negatifnya
saja.
Poin hal menarik lagi yang perlu menjadi bahan pelajaran
kita kali ini, ketika kita dihadapkan pada situasi demikian, coba pikirkan
kembali, sebenarnya kita ditempatkan pada situasi yang sama dengan yang
bersangkutan setiap waktu, siapa pihak yang mempercayakan kita untuk melakukan
sesuatu itu? Allah. Tuhan kita.
Allah mengharapkan kita untuk mempersiapkan bekal untuk nanti
bertemu dengannya, untuk hanya memikirkan-Nya. Tapi, apa yang seringkali kita
lakukan? Jangankan mempersiapkan bekal dan hanya memikirkan-Nya, Lalai? Ah,
jangan ditanya, sudah terlalu sering rasanya. Bersikap seolah ”tugas” itu tidak
dibebankan oleh kita? Itupun juga sering kita lakukan. Berpikiran bahwa kita
akan hidup di dunia ini selama-lamanya? Ini pula yang melenakan kita dari-Nya,
sampai mati pun menjadi sebuah ketakutan yang bersarang dalam diri kita,
padahal, pintu pertama bertemu dengan-Nya ialah kematian.
Tapi, bagaimana Allah menanggapi semua kelalaian dan
sikap kita yang kian hari kian berpaling dari tanggung jawab ”tugas” kita? Allah
selalu sabar. Bersabar dengan segala sikap kita yang demikian itu, tidak ada
satupun nikmat yang Allah kurangi. Kita masih bisa bernafas dengan baik, menghirup
oksigen, orangtua yang lengkap dan berkasih sayang, kesempatan untuk mengenyam
bangku pendidikan, segala kelebihan keterampilan yang ada pada diri kita, semua
itu datangnya dari Allah. Hadiah dari Allah. Padahal kita sudah terlalu sering
lalai dari tugas yang diberikan-Nya. Sementara hanya dengan kelalaian seseorang
terhadap sesuatu yang kita harapkan, kita bisa sebegitu kecewanya, sebegitu
marahnya? Aduh, alangkah malunya, alangkah rendahnya, alangkah sombongnya diri kita.
Maka sepertinya, sudah sepantasnya dan sudah saatnya,
kita perbaiki paradigma dan orientasi kita dalam bersabar, yang tadinya lalai,
semoga semakin ingat dengan amanah kita oleh Sang Pencipta, yang tadinya
berpaling, semoga semakin memegang teguh dan meluruskan hati dalam bersujud
kepada-Nya.
Aamin..
Terima kasih sudah ingin baca sampai sini, semoga
bermanfaat.
Selamat berjuang bersama dalam menjalani amanah sebagai
makhluk Allah ^^
Saudarimu, Arifah ^^
Comments
Post a Comment