Dalam memilih, seorang muslimah setidaknya harus melibatkan beberapa pihak dan hal ini dalam memutuskan
“Segala sesuatu
yang ditakdirkan bersama, maka apapun yang mencegahnya, dia akan menemukan
jalan untuk bersatu. Pun sebaliknya, sesuatu yang tidak ditakdirkan bersama,
maka apapun yang dilakukan, dia tidak akan pernah bersatu”
~Tere Liye~
images credit : https://id.pinterest.com/pin/393572454914055068/
Minggu, 23 Oktober 2016 kemarin, saya belajar,
diingatkan, sekaligus menyadari suatu hal. Ya, sesuatu yang kemudian saya sebut
makna. Ini dimulai dari sebuah pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang
peserta SPN, ”Ustadz, bagaimana jika ada yang datang mengkhitbah, namun hati si
akhwat tidak ada kecenderungan kepadanya, sedangkan laki-laki yang ia cenderung
kepadanya bukanlah orang yang melamar?”. Kemudian ustadz pun menjawab ”Aduh,
coba itu dipikir lagi, kalau laki-laki yang datang itu sudah masuk semua
kriterianya dengan laki-laki shalih, kenapa ditolak? Kalau ada yang mendatangi
antunna dengan niat untuk nembung, jangan buru-buru untuk memutuskan!
Beri waktu untuk antunna memikirkannya matang-matang, baru kemudian beri jawaban”
Ddeg! Saya kemudian disadarkan pada sesuatu
hal. Iya, tidak semua orang yang kemudian kita sukai ialah seseorang yang
ditakdirkan untuk kita, sebab sesiapa yang memang digariskan untuk bersatu, mau
bagaimanapun ceritanya, seberapapun jauh terpisahnya, mau yang tadinya tidak
ada perasaan sama sekalipun, kalau Allah sudah bilang ”Iya”, maka terjadilah.
Benar memang, sebagai seorang perempuan, kita
punya kuasa untuk memilih diantara sesiapa yang datang. Tapi kadangkala, kuasa
untuk memilih ini tertutup dengan kecenderungan perasaan yang sudah ada
sebelumnya. Contoh mudahnya saja, yang banyak terjadi, ketika kita sebelumnya
pernah menyenangi seorang ikhwan, alih-alih kita menjadikan apa saja
karakter-karakter yang dimiliki ikhwan itu menjadi sebuah kriteria. Kalau
begini, maka mau berapapun ikhwan yang datang, kalau karakternya tidak sebelas
dua belas dengan yang dulu pernah tertambat di hati, besar kemungkinan akan ditolak.
Inilah hal lain yang kemudian saya petik juga sebagai pelajaran. Bahwa ketika
memilih dari sekian banyak yang datang, selalulah sertakan Allah dan orangtua
untuk ikut memutuskan dalam pilihan kita. Mengapa demikian? Alasan sederhana
saya berpendapat seperti ini adalah:
1. Baik Allah maupun orangtua kita, keduanya sama-sama pihak-pihak yang paling
mengerti sifat dan karakter kita. Sertakan Allah dalam istikharah, sertakan
orangtua dalam memutuskan pilihan jawaban akan khitbah yang telah disampaikan.
2. Allah, sebagai sebaik-baik pembuat dan pengendali skenario, tentu tidak
akan salah memilihkan yang terbaik bagi hambanya. Sehingga ketika kita
”berkonsultasi” dengan Allah, sebisa mungkin posisikanlah hati kita pada
keadaan netral. Tidak ada kecenderungan dengan siapapun. Biarkan Allah yang
membimbing hati dan nurani kita dalam memilih.
3. Selalulah ingat, bahwa keputusan kita dalam memilih sesiapa ikhwan yang datang,
jelas akan mempengaruhi kehidupan kita, lengkap dengan kehidupan rumah tangga
yang akan kita bangun seumur hidup. Dan jangan lupa pula, bahwa rumah tangga
yang kebanyakan orang bilang sebagai ”SAMAWA” itu, visi misinya tidak hanya di
dunia saja, tapi hingga ke Jannah-Nya. Jangan sampai kita salah melangkah, pun
salah memilih.
Beberapa hal itulah yang kemarin saya dapatkan
dan pelajari untuk kemudian menjadi renungan pribadi. Atau mungkin, menjadi
renungan bersama. Ah, iya, semoga begitu. Sebab, meski sedikit, paling tidak,
saya ingin mencoba berbagi apa yang sekiranya bermanfaat bagi kita bersama.
Terima kasih sudah ingin baca sampai sini :)
NB: Sesungguhnya, ini salah satu tugas Essay saya yang harus saya kumpulkan setiap minggunya ketika SPN. Hanya saja, berhubung saya merasa perlu berbagi tentang ini. Akhirnya saya post disini, tentunya dengan sedikit perubahan. Semoga bermanfaat ^^.
Jika ada yang ingin diskusi atau request silahkan komen atau kontak saya ya :)
Comments
Post a Comment