Assalamu'alaykum ^^
Hi! Long time no see, rasanya sudah berbulan-bulan nggak nulis... hehe
Nah..tadinya bingung mau nulis apa, lalu kemudian ketika saya menuliskan kata pertama postingan ini, langsung tetiba fix menentukan apa yang mau saya tulis disini.
Dan yak, postingan kali ini Insya Allah akan membahas tentang......
Ya... The Power of "Greeting"
Bermula dari ide sederhana.
Ketika saya jalan-jalan pagi dengan seorang teman. Waktu itu, masih pagi sekali, kebetulan hari itu, kami tidak ada jadwal kuliah, mengingat status kami yang saat ini adalah mahasiswa tingkat akhir, bukan lagi waktunya untuk duduk manis di atas meja, mendengarkan ceramah kuliah, mencatat apa yang diterangkan dosen.
Tidak, status mahasiswa tingkat akhir program studi yang saya tempuh memiliki tuntutan untuk membuka mata, hati, dan juga kepekaan batin ketika setiap kali berjalan di manapun saya berada. Belajar dari kehidupan di jalan, lantas kemudian dituangkan dalam sebuah karya ilmiah apik yang kemudian diberi nama Skripsi.
Tapi, bukan itu yang ingin saya share disini. Melainkan sebuah cerita hidup, yang kadangkala kita terlupa maknanya, saking kecilnya, saking remehnya.
M : F, ini kan udah jalan nih, ntar jogging yuk, enaknya dimana ya?
F : Hmm, aku sih biasanya di Rektorat.
M : Yah, kalo disana rame banget tapi, cari yang sepi ajalah.
F : Kan masih jam segini, masih pagi banget, sebanyak-banyaknya orang juga masih lowong lah kalo buat jogging aja mah.
M : Nggak ah... Oh, aku tau, di lapangan Fakultas itu aja yuk, kan lumayan luas tuh,ada lapangan tenisnya, enak juga buat jogging.
F : *Mau menunjukkan ekspresi tidak setuju, tapi apadaya, M terlanjur sudah berjalan kesana. Dari jauh F lihat memang relatif sepi, tersebab belum waktunya masuk kuliah. Akhirnya F mengikutinya berjalan kesana.
Sampai di lapangan yang dituju, M sudah terlihat berlari-lari sambil melambaikan tangannya ke arah F, mengajak untuk mengikutinya berlari. Tapi, langkah F rasanya berat, pun enggan, serba tak enak hati. Mengapa?
Ya, lapangannya sepi memang. Dan yang namanya lapangan, mau bagaimanapun tampaknya, rasanya enak-enak saja untuk dibuat berolahraga.
Tapi yang membuat langkah F berat, enggan, nan serba tak enak adalah, saat itu, di lapangan itu, terlihat satu dua orang ibu-ibu sedang membersihkan lapangan yang kami pakai. Dan naasnya, sempat dua kali M menginjak sambil sedikit menyeret tumpukan dedaunan yang telah disapu oleh ibu-ibu itu. F yang dari jauh melihat, langsung otomatis memperhatikan ekspresi ibu itu. Dan, benar saja, raut sinis bin sebal dari mukanya terlihat membuntuti arah si M berjalan. Sedangkan M sama sekali tak tahu menahu kalau dirinya sedang dipelototi sepasang mata dari orang yang merasa terdzalimi olehnya.
"Ddeg! Haduh, nggak beres ini"
F kemudian berlari mengejar M dengan niat untuk mengajaknya pergi ke tempat lain, tapi rute untuk mengejar F haruslah melewati tumpukan dedaunan yang sudah disapu ibu tadi,
Sedetik bingung, tapi kemudian F tetap melewatinya pinggir-pinggir tumpukan dedaunan dan sampah tadi, melewati sela-sela yang belum disapu, tak lupa F menyapa ibu tadi "Ngapunten nggih bu, mau lewat sebentar". Ibu itu ternyata menjawab "O nggih nggih mbak, monggo".
Setelah melewati ibu tadi, F sempat melirik ke belakang, memastikan raut muka ibu tadi ketika menjawab sapaannya terpaksa atau tidak. Beruntungnya, tidak. Ibu itu memang menjawab sapaannya dengan tulus.
Nah, dari cuplikan ini, saya menarik sebuah makna manis.
Begitu menariknya kekuatan dari sebuah sapaan, yang ketika diucapkan akan membuat suasana hati orang yang mendengarnya berubah positif. Bayangkan saja, dalam cerita itu, suasana hati ibu tadi rasanya berubah "in a split second". Atau kalau bukan demikian, setidaknya kita tentu dapat merasakan bagaimana bahagianya ketika orang lain menyapa kita. Bahkan mungkin hanya dengan kata "Hai, gimana kabarnya?" atau "Waah, kemana aja nih baru keliatan, udah lama nggak ketemu" atu kalimat-kalimat lain semisalnya, kita sudah paham bahwa kita merasa dihargai, kita merasa bahwa eksistensi diri kita diakui.
Sebab bagaimanapun, setiap manusia tentu ingin eksistensinya diakui, tentu ingin dirinya dihargai.
Dan menariknya lagi, greeting atau menyapa ini bisa dilakukan siapa saja, mudah melakukannya, dan banyak subjek yang dapat dijadikan bahan latihan (bilamana anda adalah seorang yang kurang mudah menyapa orang lain).
Dengan saling menyapa, maka sama artinya dengan kita saling menghargai satu sama lain.
Kalau sudah sama-sama merasa saling dihargai, perlahan tapi pasti, akan tercipta sebuah ukhuwah (hubungan persaudaraan) yang semakin lama semakin erat.
Dan kalau sudah begini, maka kabar baiknya adalah, segala bentuk kerjasama maupun saling bantu-membantu dapat dengan mudah terlaksana. Jika suatu saat menemui kesulitan, boleh jadi (dan sering-seringnya terjadi), yang dapat membantu kita melalui kesulitan itu tak lain adalah orang-orang yang kemarin-kemarin kita sapa.
Tak ada ruginya bukan?
Maka... mari tebarkan sapa mulai esok, agar ukhuwah terjalin dan menjalin.
Sebab ukhuwah akan menjaga : saya, anda, ia, mereka :)
Sekian,
Terimakasih sudah bersedia membaca sampai habis :)
Regards,
Arifah El-Kizai
Setujuuu ^^
ReplyDelete