Skip to main content

Sharing : Menjadi Pengajar Teladan dan Inspiring Teacher Sekolah Qur'an UNS

Bismillah...
Assalamu'alaykum :)
Menuliskan ini takut-takut sebenarnya, khawatir riya'
Tapi bismillah, mudah-mudahan niat untuk sharing ini tetap senantiasa terjaga.

Terimakasih untuk beberapa yang sudah request, maaf sekali baru bisa tertuliskan sekarang.. Baru diingatkan lagi setelah mengajar kelas Jum'at sore kemarin, Afwan ya! Dan Terima kasih yang sudah mengingatkan. ^^

Alhamdulillah wa inna lillah, 3 September 2016 lalu, saya dinobatkan menjadi Pengajar Teladan Akhwat Sekolah Qur'an UNS Kelas Tahsin 2.

Pengajar Teladan Sekolah Qur'an Tahsin 2

Kemudian, di periode selanjutnya, Masya Allah saya kembali diberi kesempatan untuk mendapat Awards menjadi Inspiring Teacher Sekolah Qur'an UNS, masih dengan kelas yang sama, Tahsin 2.

Inspiring Teacher Sekolah Qur'an Kelas Tahsin 2

[Apa yang saya lakukan hingga menjadi Pengajar Teladan dan Inspiring Teacher Sekolah Qur'an UNS selama 2 periode berturut-turut?]


Hmm... sebenarnya, yang saya lakukan tidak banyak. Justru, terkesan ringan sekali, saya rasa semua orang pun bisa melakukannya, bahkan dengan lebih baik.

Konsep dasar yang saya pegang sebenarnya hanya 4,
-Membuat suasana belajar membaca Al-Qur'an jadi se-enjoy mungkin.
-Mengajar dengan hati
-Reward
-Terus meningkatkan dan menjaga kekuatan ruhiyah diri

1. Membuat suasana belajar membaca Al-Qur'an se-enjoy mungkin.
Ini konsep paling dasar yang selalu saya pegang dan saya tanamkan selama ini, entah itu mengajar les-les pelajaran akademik, mengajar adik-adik SD, apalagi mengajar membaca Al-Qur'an. 
Saya selalu berusaha mencoba, bahwa jangan sampai, adik-adik yang saya ajarkan membaca Al-Qur'an itu merasa bete, bosan, apalagi terpaksa.
Bagaimana caranya?
Yang biasa saya lakukan, saya selalu menanyakan kepada adik-adik yang saya ajarkan.. tentang bagaimana pendapat mereka tentang style saya ketika mengajar, mereka mengharapkan situasi yang seperti apa sih ketika belajar membaca Qur'an, kemudian soal durasi, berapa lama efektifnya mereka mampu menerima materi dari kita (pengajar), dan yaah... pertanyaan sekitar itu yang biasa saya lontarkan.
Tentang Style, misalnya
Tidak bisa dipungkiri, masing-masing kita punya style-nya masing-masing ketika mengajar. Adapun saya juga demikian, saya biasa mengajar dengan nada yang santai, tapi ekspresif sekali, sampai-sampai hampir setiap adik-adik mahasiswa tahsin 2 yang saya ajarkan hafal dengan style saya. Kalau ditanya "Ustadzah-mu yang mana sih?" atau "Mbak Arifah tu yang mana sih?" Hampir semua dari adik-adik saya itu jawabnya mirip-mirip, "Itu lhoo, yang kalau ngajar pas lagi ngomong itu tangannya pasti ikutan gerak", atau "Itu lhoo, yang kalo ngajar ekspresif banget gitu", dan yah... semacam itu.
Saya agak malu gitu sih sebenarnya, tapi yaah, apa mau dikata, itu benar semua. Memang saya kalau ngajar (bahkan ngomong biasa aja), saya memang ekspresif begitu, sulit mengubahnya menjadi style pengajar-pengajar lain yang kok kalau dilihat sepertinya adeeem banget ngajarnya, adik-adiknya juga anteng-anteng aja, diem, tenang, yaa begitulah.
Sebenarnya, selain karena sulit diubah, alasan lainnya yaitu, saya tidak ingin membuat image belajar membaca Qur'an di adik-adik mahasiswa itu, seperti layaknya ikut pengajian jaman SD dulu, diam saja mendengarkan ceramah, materi, lantas diminta baca kata demi kata bahasa arab yang tak ada bedanya seperti anak-anak TPA di SD. Wah, saya menghindari sekali yang seperti itu. Kenapa? karena itu membosankan, terkesan "kuno" sekali bagi anak muda (apalagi zaman sekarang). Pernah sekali saya mencoba waktu pertemuan pertama mengajar Tahsin 2 dulu dengan cara ala-ala TPA seperti itu, walhasil? Failed. Raut ekspresi muka mereka "bete" semua, meski ada satu dua yang bete-nya ditutup-tutupi.
Sepertinya benar teori psikologi yang saya pelajari, bahwa anak muda itu, bukan lagi masanya mereka diminta dan disuruh untuk melakukan sesuatu, maka kita sebagai pengajar jangan sampai menimbulkan anggapan bahwa kita menyuruh mereka untuk melakukan sesuatu. Sebab perlu diingat, bahwa tidak ada satupun orang yang sebenarnya suka disuruh-suruh.
Maka oleh karenanya, cobalah mengajar dengan style "mengajak", iya mengajak. Dalam artian, kita melakukannya bersama-sama. Kita (pengajar), juga ikut belajar.
Kedengarannya simpel ya, tapi siapa sangka? Mencoba menemukan style mengajar yang pas dengan maunya adik-adik memang butuh trial and error, terus disesuaikan sampai menemukan style yang cocok.

2. Mengajar dengan hati.
Berkali-kali ada yang bilang ke saya gini "Ah, kalo Mbak Abe/Arifah kan public speaking-nya bagus"
Eits eits, tunggu dulu... Skill public speaking itu bukan inti dari kita mengajar. Justru inti dari mengajar itu menurut saya satu, H . A . T . I .
Yang penting, hati kita-nya senang dulu, pengajarnya senang dulu.
Kalau saya, kebetulan sejak dulu saya memang paling tertarik dan paling suka dengan hal-hal terkait mengajar, mengajar apa saja, seberapapun ilmu yang saya punya, saya coba untuk membagikan itu, dengan harapan semoga dari yang sedikit itu bisa bermanfaat, sambil dibagikan, sambil belajar lebih banyak, agar semakin banyak yang bisa dibagi, gitu.
Kenapa suasana hati menjadi penting? Dan kenapa mengajar itu harus senang?
Simpel saja alasannya, 
Ingat! Di dunia ini, tidak ada orang yang suka melihat orang dengan raut muka yang masam, jutek, cemberut, atau emosi negatif lainnya.
Apalagi kita, selaku pengajar di halaqah. Coba bayangkan, kita yang hanya seorang, berhadapan dengan adik-adik yang kita ajarkan sebanyak 8 sampai 10 orang.
Kalau kita ketika mengajar dengan jutek, 8 sampai 10 orang di hadapan kita siap untuk menjutekkan kita balik.
Tapi kalau kita mengajarnya dengan senyum, sambil sedikit bercanda untuk mencairkan suasana. Coba bayangkan berapa banyak senyum yang kita terima dari adik-adik di hadapan kita.
Lagipula begini,
Kita perlu paham betul posisi kita sebagai orang yang mengajarkan Al-Qur'an. Menjadi Pengajar Al-Qur'an itu tidak mudah, juga harus hati-hati sekali.
Kita harus betul-betul menjaga, bahwa jangan sampai, melalui tangan kita, melalui ucapan kita, melalui akhlak kita, image belajar Qur'an pada adik-adik yang kita ajarkan itu menjadi sesuatu yang menyeramkan, membosankan, hingga na'udzubillah semoga tidak sampai terjadi, mereka jadi tidak mau lagi belajar Al-Qur'an.
Wah, berat ya menjadi Pengajar Qur'an? Iya, memang berat. Buktinya tidak banyak orang yang mau untuk jadi pengajar, kan? Tapi kalau dijalani dengan hati, dengan ikhlas, Insya Allah tidak terasa berat, juga Insya Allah, ini menjadi salah satu potensi ladang amal dan dakwah kita. Ingat, di mana-mana, sampai kapanpun, dakwah itu bukan sesuatu yang mudah. Tapi tetap worth it untuk diperjuangkan :)


3. Rewards

Nah, ini program yang biasa saya persiapkan untuk adik-adik saya. Reward. Iya, reward. Setiap periode, semua mahasiswa yang menjadi peserta Sekolah Qur'an UNS selalu diminta membaca Al-Qur'an minimal 1 halaman per harinya. Enteng kan? Enteng kok, asal hatinya enteng dan serius mau meluangkan waktu untuk membaca Qur;an setiap harinya.
Nah, biasanya, reward ini saya berikan melalui program "the most istiqomah ukhties of the week". Aneh ya, namanya? biarlah, yang penting esensinya ada. hahaha
reward ini saya berikan untuk adik-adik yang paling banyak dan paling istiqomah tilawah/membaca Al-Qur'an. Caranya gimana? Adik-adik saya minta untuk report ke saya setiap harinya melalui WA, hari ini mereka sudah baca surat apa, ayat berapa sampai ayat berapa, berapa halaman. Begitu.
Nanti diumumkan 2 orang paling istiqomah dan paling banyak tilawahnya itu ketika agenda KBM yang telah dijadwalkan.
Nanti hadiahnya apa? Yaah.... yang simpel-simpel saja lah, belilah beng-beng, biskuit, wafer, atau makanan apa saja.

[Yah? ngeluarin uang dong?]

Hehe... iya, memang. Kalau keberatan, tidak usah juga tidak apa. Ini kan hanya bagian dari style saya saja. Tidak mutlak harus dilakukan. Sebab kalau prinsip saya pribadi (yang diajarkan oleh ayah saya) kebetulan begini
"Jangan susah ngeluarkan uang untuk kepentingan dakwah dan amal. Selagi masih ada yang bisa diberikan, selagi belum datang masanya dimana semua orang tidak butuh untuk diberi (berkecukupan)"

[Lalu, efektifkah metode ini untuk menyemangati adik-adik?]

So far, sejauh yang saya lakoni, ini lumayan efektif. Meski pastilah ada satu dua yang menganggap ini tidak begitu penting, semisal "yaudahlah, toh hadiahnya beng-beng doang, bisa beli sendiri". Tapi selain satu dua orang itu, alhamdulillah semangat untuk tilawah setiap harinya relatif terjaga. Logikanya mudah saja, tidak ada orang yang tidak senang diberikan hadiah. Dan biasanya, rasa senang setelah diberikan hadiah itu cenderung untuk membuat mereka tetap menjaga stabilitas ikhtiarnya atau bahkan berusaha lebih baik lagi. Maka saya pikir, setidaknya rewards ini bisa menjadi sedikit dari kontribusi yang bisa saya lakukan untuk menjaga semangat mereka agar terus berinteraksi dengan Qur'an.


4. Terus menjaga dan meningkatkan kekuatan ruhiyah diri 

Ada sebuah nasihat yang masih saya ingat betul dari Ust. Rudi Hartanto Al-Hafidz ketika upgrading pengajar periode lalu..

"Kekuatan ruhiyah murabbi (pengajar) itu akan selalu mempengaruhi ruhiyah-nya mutarobbi (yang diajarkan). Sebab kekuatan ruhiyah inilah yang bisa mengundang rahmat Allah. Kalau ruhiyah murabbi-nya saja tidak kuat, maka jangan heran kalau mutarobbi-nya jadi susah diajar".

~Ust. Rudi Hartanto, Al-Hafidz

Waktu itu, nasihat ini jleb sekali di saya. Sebab pada pertemuan KBM sebelumnya, entah kenapa adik-adik saya susah sekali mencerna materi yang saya ajarkan, lalu lebih banyak ketawanya, lebih banyak bercandanya. Yah, pokoknya kurang kondusif lah untuk dapat dikatakan sebagai suasana belajar Qur'an. Lalu, kemudian waktu upgrading saya dijejali dengan nasihat ini, saya langsung flashback sendiri, mengingat-ngingat dan memeriksa ulang frekuensi dan intensitas ibadah saya yang menentukan kekuatan ruhiyah itu bagaimana akhir-akhir ini. Dan, benar saja. Waktu itu keadaannya, saya sedang tidak beres ruhiyahnya.
Maka dari sini sekali lagi, saya ingin katakan, bahwa .. 
Menjadi pengajar Qur'an itu berat. Benar-benar tidak mudah. Ini amanah yang Allah kasihkan langsung untuk dijalankan. Maka tentu saja Allah tidak sembarang memilih orang untuk bisa memegang amanah ini, Allah benar-benar menyeleksi kekuatan ruhiyah setiap hambanya baru kemudian menentukan mana yang memang pantas untuk diberikan amanah ini. Kalau di tengah jalan seorang Pengajar Qur'an itu sedang alpa, maka boleh jadi Allah stop dulu lisensinya, sehingga karisma kita sebagai seorang pengajar itu hilang di mata adik-adik. Sebab kekuatan ruhiyah kita tidak cukup untuk mengundang rahmat Allah untuk menaungi majelis yang sedang kita ajarkan. Oleh karenanya, Allah tegur dulu kita, Allah biarkan kekuatan ruhiyah kita pulih dulu, naik dulu, meningkat dulu, baru kemudian lisensinya diberikan lagi.

Kira-kira begitu gambarannya. *Maafkan penggambaran saya yang terlalu imajinatif. Kebiasaan emang. hehe. Tp mudah-mudahan tidak mengurangi esensi yang bisa didapat ya? :)


Baik, sudah lama saya tidak menulis segini panjangnya. Alhamdulillah, terima kasih yang sudah request dan mengizinkan saya berbagi. Semoga apa yang seadanya ini bisa diambil manfaatnya.
Terima kasih sudah baca sampai sini :)

Wassalamu'alaykum 

Comments

Popular posts from this blog

Book's Review : Don't Be Sad (Laa Tahzan) >> Recommended book over years!

Bismillah.. Assalamu'alaykum :) Selamat pagi, siang, malam ^^ (silahkan sesuaikan dengan waktu kapan anda membaca postingan saya ini) Sebelum memulai review, seperti biasa, postingan saya akan diwarnai dengan curhatan yaa. hha :P Akhirnya, malam ini, setelah selama kurang lebih hampir dua minggu penuh waktu tidur saya berantakan sekali, sampai waktu tidur pun bisa saya hitung... selama dua minggu ini, saya hanya memiliki waktu tidur hanya 16 jam. Rinciannya kira-kira, selama seminggu pertama terhitung sejak tanggal 5-9 Mei, saya tidak punya waktu tidur sama sekali. Bukan ding, sebenarnya bukan tidak punya. But thanks to my perfectionist personality. Saya tidak bisa tenang untuk tidur sama sekali sebelum saya menyelesaikan project wajib mahasiswa tingkat akhir, yang tak lain dan tak bukan adalah S.(Kri)Psi BAB 4 dan BAB 5. Bukan, sama sekali bukan maksud hati ingin bilang kalau saya keren banget bisa bertahan selama itu mainan sama BAB 4. Justru sebaliknya, saya belum m

Your heart need a break

Being kind to yourself is a process, You've lived under people expectations over years, And those conditions not frequently making you wounded and leaving a scar. But afterall, life is never fail to give you lessons. So now, time for you to be healed, not to forget your wound, but to accept and thank them. Thank them for the lesson you've learned, just so you will address a merciful future life. Indeeed, there are no guarantee that you won't experience a painful event anymore. But hey... a strong heart always need an exercise to level-up, isn't it? _2021, February 12th_ (copyright image : blog.cityspotsfitness.com)

Book Review : Happy Little Soul >> One of the best parenting guidelines for every mom (and mom gonna be)

Identitas Buku Judul : Happy Little Soul Penulis : Retno Hening Palupi (@retnohening) Editor : Tesara Rafiantika Penerbit : Gagas Media Harga buku : IDR 80,000 Dokumentasi pribadi When you're a mother, you're never really alone in your thoughts. A mother always has to think twice, once for herself, and once for her child -- Sophia Loren  Ya, kurang lebih, quote diatas mewakili kesan yang saya dapat sepanjang saya membaca buku ini, lembar demi lembarnya. Di buku ini, saya seakan dibawa untuk mengerti dunia perjuangan sebagai ibu. Mulai dari menahan rasa mual, sakit, lemah ketika mengandung, lalu kemudian memuncak menjadi rasa sakit yang begitu hebat saat kontraksi akan melahirkan. Setelah melahirkan, lantas kemudian berusaha membangun bonding  dengan anak saat menyusui. Ah, rasanya jatuh bangun berkali-kali, waktu tidur yang berantakan, dan semacamnya itu menjadi panganan sehari-hari ketika peran seorang ibu mulai dipegang. Tidak sampai situ saja, memutar otak